Kamis, 22 Mei 2014

Hidup Ini Penuh Perjuangan



Asap mengepul dari dapur sebuah rumah di perumahan Griya Palur Asri pada pukul 02.00 dini hari. Kepulan asap ini bukan tidak disengaja. Asap ini juga tidak berwarna hitam pekat seperti biasanya. Asap ini membumbung tinggi di udara menggoda siapa saja yang menghirupnya. Aroma khas daging bercampur bumbu kacang yang terbakar oleh panasnya arang terasa begitu nikmat. Rupanya dari dalam bilik sempit itu, tampaklah seorang wanita dengan rambut dikucir seperti pendeta yang tengah membakar sate ayam dagangannya.
Misdanik, atau yang akrab dipanggil Mbak Danik adalah seorang wanita penjual sate ayam khas Madura yang terkenal seantero Desa Ngringo. Wanita kelahiran Madura, 15 November 1977 ini sangat asyik membolak-balik sate dagangannya diatas arang ketika seisi penghuni rumahnya masih terlelap dalam tidurnya. Panasnya arang membuat peluhnya bercucuran. Namun, ia tak mengeluh sedikitpun. Ia melakukan setiap jengkal pekerjaannya dengan sabar.
Tepat ketika adzan subuh berkumandang, lima ratus tusuk sate dagangannya telah selesai dibakar. Suaminya, Fajar bangun untuk mengambil air wudhu dan memimpin shalat berjamaah. Mbak Danik sedang bermunajat kepada Tuhan ketika suaminya mengemas dagangannya di keranjang sepeda onthelnya.
“Mah, dagangannya sudah siap,” kata Fajar.
Iyo Mas, Aku ganti baju dulu,” jawab Danik. “Aku mangkat sek ya Mas,” katanya melanjutkan.
Iyo Mah, semoga laris hari ini, amin,” ucap Fajar.
Setelah berpamitan, Danik mengayuh sepedanya menuju ke tempat ia biasa menggelar dagangannya. Jangan bayangkan sebuah warung apik dengan lantai keramik. Ia hanya berjualan di depan ruko di sebuah perempatan yang ramai orang berlalu lalang untuk berbelanja. Mirip pasar memang, ada kios sayur, kios daging, kios tenongan dan lainnya, namun ini bukan pasar, melainkan hanya sebuah persimpangan jalan.
Dengan hati-hati ia menurunkan dagangannya. Dan dengan sabar pula ia menunggu pelanggan yang biasa membeli satenya. Dalam penantiannya ia tak hanya duduk termenung. Dari kedua bibirnya ia tak henti-hentinya melantunkan dzikir dan doa kepada Sang Maha Kuasa. Berharap agar diberikan rezeki yang berlimpah untuk hari ini.
Misdanik adalah tulang punggung keluarga. Terhitung sudah hampir dua puluh tahun sejak hijrahnya dari Madura ditahun 1994 ia berjualan sate di tanah ini. Mulai dari berjualan keliling kampung hingga pada tahun 2004 ia bisa membuka warung tenda sederhana di malam hari. Pelanggannya pun cukup banyak. Dalam sehari rata-rata ia bisa menjual 500-600 tusuk sate, dan 800-1000 tusuk sate di hari libur atau jika sedang ramai. Ia juga biasa mengerjakan pesanan sate untuk orang hajatan. Omset perharinya bisa mencapai Rp 2.000.00,00.
Dengan hanya berjualan sate ini, ia harus menghidupi kedelapan anggota keluarganya, dua orang anaknya, ditambah tiga orang adiknya, ibunya yang sudah renta, ia dan suaminya. Sehari-hari ia harus berjibaku dengan berkilo-kilo daging ayam untuk menyambung hidup keluarganya.
Suaminya, Fajar hanya seorang sopir bus kota yang sangat minim penghasilannya. Sehari-hari untuk menyiapkan dagangannya ia hanya dibantu oleh Simo, adiknya yang paling kecil. Dulu sebelum ibunya lumpuh dan buta, ibunyalah yang membantunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti mencuci piring, menyapu, dan mengepel. Namun sejak empat tahun terakhir ini, ia harus melakukan segala sesuatunya sendiri.
Sejak lima belas tahun yang lalu, ibunya divonis menderita penyakit glukoma. Sebagai anak yang ingin menunjukkan baktinya kepada orang tua, segala upaya ia lakukan demi kesembuhan ibunya. Namun, Tuhan berkehendak lain, pada tahun 2011 ibunya mengalami kelumpuhan dan kebutaan.
Rentetan kesulitan hidup Danik tak berhenti sampai disini, anak keduanya yang berusia tiga tahun mengidap penyakit infeksi saluran pencernaan dan gejala hernia. Namun, hebatnya wanita yang satu ini tidak pernah sedikitpun mengeluhkan nasibnya. Bahkan para tetangga mengenalnya sebagai sosok wanita perkasa yang tangguh.
“Mbak Danik itu orangnya kuat, nggak pernah mau utang ke tetangga kalo ngga kepepet untuk ngobati anaknya,” ungkap Heni, tetangganya.
Beban kehidupan yang ditanggungnya tak membuat senyum di wajahnya layu. Matanya berkaca-kaca saat ia mengungkapkan perjalanan hidupnya yang penuh liku-liku. Ia juga sama seperti wanita lain yang punya keinginan untuk hanya mengurus anak dan suami dirumah tanpa harus bekerja pontang-panting untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun agaknya ia harus mengubur keinginannya itu dalam-dalam.
Keadaan ekonomi yang serba pas-pasan membuatnya harus mengubur angan-angannya itu. Namun, tak sedikitpun ia mengeluh bahkan menyesal atas kehidupannya yang sekarang. Ribuan rasa syukur yang dipanjatkannya membuatnya menjadi sosok wanita yang perkasa. Di mata suaminya ia adalah sosok istri dan ibu yang tangguh dan penuh kasih sayang. Ia bahkan sanggup menjalani getirnya kehidupan berumah tangga bersama suaminya selama hampir dua puluh lima tahun.
“Saya bersyukur sekali mendapatkan istri seperti Danik, dia bisa menerima saya dalam kondisi apapun. Ada uang atau pun tidak, ngga pernah membuat percekcokan yang panjang antara kami,” ungkap suaminya.
Di mata ibu dan adik-adiknya, ia adalah seorang anak yang penuh kasih sayang berbakti pada orang tua. Tanda baktinya telah di buktikan dengan membiayai pendidikan ketiga adiknya hingga lulus SMA dan terus merawat ibunya dari dulu hingga sekarang. Bahkan masih menopang kehidupan mereka semua hingga sekarang.
Seorang wanita yang berstatus sebagai istri memng tidak wajib untuk mencari nafkah. Namun ia tetap melakukannya semata-mata demi masa depan anaknya dan untuk membantu suaminya menopang kebutuhan hidup keluarganya. Terlebih kesemuanya ia lakukan semata-mata ikhlas dan tetap menjaga penuh rasa hormat dan patuhnya kepada Sang Suami tercinta.
Di akhir perjumpaan kami, ia menyampaikan harapan terbesarnya agar diberi umur panjang dan kesehatan agar ia bisa terus mengumpulkan nilai-nilai ibadah dalam setiap jengkal pekerjaan yang dilakukannya.
“Hidup ini kan perjuangan, harapanku sederhana, aku cuma pingin hidup enak, anakku sekolah yang tinggi, kalo sudah besar hormat sama orang tua,”  tuturnya.

Reporter : Chelin Indra

Kamis, 15 Mei 2014

Kuliner Nostalgia Tempoe Doeloe


Es kapal, begitulah warga Solo dan sekitarnya sering menyebut jajanan es yang satu ini. Satu jajanan kaki lima ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi pelepas dahaga yang tak  boleh dilewatkan ketika kita berjalan-jalan di area Solo City Walk yang terletak di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, jalan  utama yang membelah pusat Kota Solo. "Es  Kapal Tempoe Doeloe, Resep Leluhur Cita Rasa Khas Solo", begitulah kata-kata di spanduk yang terpasang di gerobak tempat es ini dijual.


Lapak Es Kapal ini bersebelahan dengan lapak milik Es Potjong Solo. Walaupun bersebelahan, namun lapak milik Es Kapal ini memang terlihat tidak begitu ramai seperti lapak di sebelahnya. Namun Es kapal tersebut memang dari dulu sudah mempunyai pelanggan setia sendiri.

Jika dilihat sekilas, tampilan es kapal ini memang cukup sederhana. Es kapal ini terlihat seperti es susu coklat pada umumnya dan disajikan ke dalam gelas yang cukup jadul, kemudian diberi campuran roti tawar. Es kapal memiliki citarasa  maupun aroma yang khas, namun agak mirip es puter. Perpaduan rasa manis dan gurih sangat terasa, ditambah dengan aromanya yang khas sangat menggugah selera.

Pemberian  nama "es kapal" memang sedikit menggelitik. Sebutan es kapal bukan berarti es yang disajikan berbentuk kapal. Sejarahnya cukup sederhana, es ini mulai muncul pada tahun 1974 yang awalnya dikelola oleh  Bapak Ladiman, dan sekarang dikelola olehanaknya yaitu Paryono atau para penjual menyebutnya Mas No, yang mana es kapal ini sudah dikelola oleh dua generasi. Pemberian sebutan es kapal ini konon karena dahulu gerobak  es yang digunakan berbentuk seperti kapal, atau tepatnya moncong perahu. Lambat laun orang-orang lebih familiar menyebutnya es kapal karena bentuk dari gerobak yang digunakan untuk berjualan. Cukup sederhana dan unik memang.


Satu gelas es kapal ini dijual dengan harga Rp 2.500,00 per-gelasnya, tanpa roti danRp. 3.000,00 dengan roti cukup murah bukan? Anda dapat menemukan lapak es kapal ini di Solo City Walk, tepatnya di sebelah barat pintu utama Taman Hiburan Rakyat Sriwedari. Lapak es kapal ini mulai buka sekitar pukul 09.00 pagi sampai dengan habis. BagiAnda yang merasa haus di siang hari karena teriknya sengatan sinar matahari di Kota Solo, es kapal ini dapat dijadikan pilihan untuk pelepas dahaga Anda. 

Reporter : J Setyo
Foto : Edo Robby
Editor : Chelin Indra