Asap mengepul dari dapur sebuah rumah di
perumahan Griya Palur Asri pada pukul 02.00 dini hari. Kepulan asap ini bukan tidak disengaja. Asap ini juga tidak berwarna hitam pekat
seperti biasanya. Asap ini membumbung tinggi di
udara menggoda siapa saja yang menghirupnya. Aroma khas daging bercampur bumbu
kacang yang terbakar oleh panasnya arang terasa begitu nikmat. Rupanya dari
dalam bilik sempit itu, tampaklah seorang wanita dengan rambut dikucir seperti
pendeta yang tengah membakar sate ayam dagangannya.
Misdanik, atau yang akrab dipanggil Mbak Danik
adalah seorang wanita penjual sate ayam khas Madura yang terkenal seantero Desa
Ngringo. Wanita kelahiran Madura, 15 November 1977 ini sangat asyik membolak-balik
sate dagangannya diatas arang ketika seisi penghuni rumahnya masih terlelap
dalam tidurnya. Panasnya arang membuat peluhnya bercucuran. Namun, ia tak
mengeluh sedikitpun. Ia melakukan setiap jengkal pekerjaannya dengan sabar.
Tepat ketika adzan subuh berkumandang, lima
ratus tusuk sate dagangannya telah selesai dibakar. Suaminya, Fajar bangun
untuk mengambil air wudhu dan memimpin shalat berjamaah. Mbak Danik sedang
bermunajat kepada Tuhan ketika suaminya mengemas dagangannya di keranjang
sepeda onthelnya.
“Mah, dagangannya sudah siap,” kata Fajar.
“Iyo Mas, Aku ganti baju dulu,” jawab
Danik. “Aku mangkat sek ya Mas,” katanya melanjutkan.
“Iyo Mah, semoga laris hari ini, amin,”
ucap Fajar.
Setelah berpamitan, Danik mengayuh sepedanya
menuju ke tempat ia biasa menggelar dagangannya. Jangan bayangkan sebuah warung
apik dengan lantai keramik. Ia hanya berjualan di depan ruko di sebuah
perempatan yang ramai orang berlalu lalang untuk berbelanja. Mirip pasar
memang, ada kios sayur, kios daging, kios tenongan dan lainnya, namun ini bukan
pasar, melainkan hanya sebuah persimpangan jalan.
Dengan hati-hati ia menurunkan dagangannya.
Dan dengan sabar pula ia menunggu pelanggan yang biasa membeli satenya. Dalam
penantiannya ia tak hanya duduk termenung. Dari kedua bibirnya ia tak
henti-hentinya melantunkan dzikir dan doa kepada Sang Maha Kuasa. Berharap agar
diberikan rezeki yang berlimpah untuk hari ini.
Misdanik adalah tulang punggung keluarga. Terhitung
sudah hampir dua puluh tahun sejak hijrahnya dari Madura ditahun 1994 ia
berjualan sate di tanah ini. Mulai dari berjualan keliling kampung hingga pada
tahun 2004 ia bisa membuka warung tenda sederhana di malam hari. Pelanggannya
pun cukup banyak. Dalam sehari rata-rata ia bisa menjual 500-600 tusuk sate,
dan 800-1000 tusuk sate di hari libur atau jika sedang ramai. Ia juga biasa
mengerjakan pesanan sate untuk orang hajatan. Omset perharinya bisa mencapai Rp
2.000.00,00.
Dengan hanya berjualan sate ini, ia harus
menghidupi kedelapan anggota keluarganya, dua orang anaknya, ditambah tiga
orang adiknya, ibunya yang sudah renta, ia dan suaminya. Sehari-hari ia harus
berjibaku dengan berkilo-kilo daging ayam untuk menyambung hidup keluarganya.
Suaminya, Fajar hanya seorang sopir bus kota
yang sangat minim penghasilannya. Sehari-hari untuk menyiapkan dagangannya ia
hanya dibantu oleh Simo, adiknya yang paling kecil. Dulu sebelum ibunya lumpuh
dan buta, ibunyalah yang membantunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya,
seperti mencuci piring, menyapu, dan mengepel. Namun sejak empat tahun terakhir
ini, ia harus melakukan segala sesuatunya sendiri.
Sejak lima belas tahun yang lalu, ibunya
divonis menderita penyakit glukoma. Sebagai anak yang ingin menunjukkan
baktinya kepada orang tua, segala upaya ia lakukan demi kesembuhan ibunya. Namun,
Tuhan berkehendak lain, pada tahun 2011 ibunya mengalami kelumpuhan dan
kebutaan.
Rentetan kesulitan hidup Danik tak berhenti
sampai disini, anak keduanya yang berusia tiga tahun mengidap penyakit infeksi
saluran pencernaan dan gejala hernia. Namun, hebatnya wanita yang satu ini
tidak pernah sedikitpun mengeluhkan nasibnya. Bahkan para tetangga mengenalnya
sebagai sosok wanita perkasa yang tangguh.
“Mbak Danik itu orangnya kuat, nggak pernah
mau utang ke tetangga kalo ngga kepepet untuk ngobati anaknya,”
ungkap Heni, tetangganya.
Beban kehidupan yang ditanggungnya tak membuat
senyum di wajahnya layu. Matanya berkaca-kaca saat ia mengungkapkan perjalanan
hidupnya yang penuh liku-liku. Ia juga sama seperti wanita lain yang punya
keinginan untuk hanya mengurus anak dan suami dirumah tanpa harus bekerja
pontang-panting untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun agaknya ia harus
mengubur keinginannya itu dalam-dalam.
Keadaan ekonomi yang serba pas-pasan
membuatnya harus mengubur angan-angannya itu. Namun, tak sedikitpun ia mengeluh
bahkan menyesal atas kehidupannya yang sekarang. Ribuan rasa syukur yang
dipanjatkannya membuatnya menjadi sosok wanita yang perkasa. Di mata suaminya
ia adalah sosok istri dan ibu yang tangguh dan penuh kasih sayang. Ia bahkan
sanggup menjalani getirnya kehidupan berumah tangga bersama suaminya selama
hampir dua puluh lima tahun.
“Saya bersyukur sekali mendapatkan istri
seperti Danik, dia bisa menerima saya dalam kondisi apapun. Ada uang atau pun
tidak, ngga pernah membuat percekcokan yang panjang antara kami,” ungkap
suaminya.
Di mata ibu dan adik-adiknya, ia adalah
seorang anak yang penuh kasih sayang berbakti pada orang tua. Tanda baktinya
telah di buktikan dengan membiayai pendidikan ketiga adiknya hingga lulus SMA
dan terus merawat ibunya dari dulu hingga sekarang. Bahkan masih menopang
kehidupan mereka semua hingga sekarang.
Seorang wanita yang berstatus sebagai istri
memng tidak wajib untuk mencari nafkah. Namun ia tetap melakukannya semata-mata
demi masa depan anaknya dan untuk membantu suaminya menopang kebutuhan hidup
keluarganya. Terlebih kesemuanya ia lakukan semata-mata ikhlas dan tetap
menjaga penuh rasa hormat dan patuhnya kepada Sang Suami tercinta.
Di akhir perjumpaan kami, ia menyampaikan
harapan terbesarnya agar diberi umur panjang dan kesehatan agar ia bisa terus
mengumpulkan nilai-nilai ibadah dalam setiap jengkal pekerjaan yang
dilakukannya.
“Hidup ini kan perjuangan, harapanku
sederhana, aku cuma pingin hidup enak, anakku sekolah yang tinggi, kalo
sudah besar hormat sama orang tua,”
tuturnya.
Reporter : Chelin Indra